*Kedudukan Mursyid*
Tidak sedikit pandangan kritis (kritikan tajam / sharp criticism) terhadap mursyid. Bahkan, ada yang menuduh mursyid sudah cenderung seperti Santo dalam agama katolik (cristian katolik) yang memiliki kedudukan sakral dan difigurkan sebagai representasi Tuhan dalam menghadapi hambanya. Ada moto bahawa salik bagaikan mayat di depan mursyidnya.
Mursyid terlalu aktif dan dominan, tidak boleh dibantah; dan para salik harus menerima tanpa pamrih apa pun petunjuk dan perintah mursyid. Seolah-olah mursyid mematikan kreativitas salik. Apatahlagi sekarang, tidak sedikit orang mengaku atau dipersepsikan mursyid, tetapi sesungguhnya motifnya adalah hal bersifat duniawi.
Namun, pandangan kritis berlebihan dalam menilai mursyid juga perlu dikritisi (mendapatkan kritik). Pada umumnya, mursyid yang sejati tidak pernah mau disebut sebagai mursyid, bahkan tidak sedar kalau dirinya dianggap mursyid.
Mursyid pada umumnya memiliki tujuan mulia, iaitu ingin menyelamatkan para salik (murid) dalam menapaki jalan-jalan yang tidak umum. Banyak ulama besar yang tadinya menolak tasawuf dan kedudukan mursyid, tetapi belakangan (akhirnya) mereka berubah secara total. Mereka menjadi pengamal tasawuf dan juga menjadi mursyid.
Di antara mereka adalah Ibnu Athaillah As-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzudin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Mereka sedar, jalan memperoleh makrifat tak dapat ditempuh hanya mengandalkan (menggunakan) pengetahuan akal rasional yang hanya akan meraih ilmul yaqin, belum sampai tahap haqqul yaqin.
Akhirnya, mereka pun menyadari, tanpa mursyid sulit untuk sampai kepada ALLAH (wushul). Dalam dunia kosmologi tasawuf, para salik (murid) yang berjalan tanpa bimbingan ruhani mursyid, tidak akan atau sulit untuk membezakan mana bisikan-bisikan lembut (hawatif / hatif) yang datang dari ALLAH melalui malaikat atau dari syeitan atau jin.